BADAI
Tenang, kata-kata telah disederhana. Bukan lagi konversasi gaduh. Bukan pula konspirasi bunuh-membunuh. Percaya deh, klausa yang mendebur awalnya cuma frasa yang mericik. Dia jadi riuh sebab terlalu lama dicekik jenuh.
Angin kencang meniup riasan seseorang. Menyulap mata memesona jadi bola kuyu berkantung. Dari balik jendela yang seukuran pintu itu, Lio menghapus hias di wajahnya dengan micellar water. Andai tidak badai, gadis berpipi mochi itu juga tak akan pergi. Bersolek hanya tradisi libur. Supaya ia bisa berselfie dan membubuhi keterangan 'With him again' saat gambarnya diunggah di media sosial.
Entahlah, Lio sendiri mulai muak berpura-pura. Badai yang kesekian ini tak lagi teratasi oleh kiriman coklat panas dari seseorang. Atau syal bulu domba yang diantar dengan berdingin ria. Kurir kesayangannya seolah hilang dilahap badai.
Prang
Pecahnya kaca menyusul bunyi benturan bingkai pada dinding bata. Gemap-gemap dada Lio membuat gadis berhoodie itu mundur selangkah.
"Mamaa!"
Hening.
Lio lupa mamanya sedang pergi berbelanja. Ia di rumah sendiri sementara gemerayak hujan mulai menjatuhkan diri dengan bertubi-tubi. Kaca jendelanya pecah terhantam dahan pohon yang lepas tersabet angin.
"Lio? Kau baik-baik saja?" suara berat laki-laki terdengar menyimpan kekhawatiran.
Lio kembali mundur untuk berancang lari. Diterjangnya manusia jangkung yang tubuhnya kuyup akibat berlarian ke rumah Lio. Betapa bersyukur Lio saat dirinya masih dapat menghangat di pelukan pria itu.
"Aku kira kau sudah pergi," pukul Lio dengan nada manja.
"Hm, seharusnya."
"Aku langsung menghapus make up begitu tahu kau akan pergi. Kenapa jauh-jauh, sih? Nanti aku jalan-jalan dengan siapa kalau kau pergi?"
"Aku takut kau merasa kehilangan kalau aku pergi sekarang," jawab si pria dengan entengnya.
Seakan berada di dunia sihir, deru di luar mendadak reda setelah pria itu menjentikkan jarinya. "Sekarang, ayo kita jalan-jalan!"
Lio terkesima akan alam yang tiba-tiba mau diajak kerja sama. Hujan yang nyaris jatuh seakan ditarik kembali ke langit. Begitu juga dengan pepohonan yang kembali ke bentuk semula, tidak lagi condong-condong didesak angin. Langit kembali cerah padahal Lio nyaris membatalkan segalanya.
"Ayo!" Lio menyambutnya dengan antusias. Bahkan mulai mendahului langkah temannya menuju beranda.
"Mamamu pulang."
Langkah Lio terhenti dan terganti oleh diam yang keheranan. Benar, mamanya pulang. Wanita paruh baya itu membuka payung sesaat setelah turun dari mobil. Pemandangan yang lucu. Untuk apa berpayung jika hujan diluar sudah berganti jadi ricik yang tak mungkin menyakiti?
Duarrr
Guruh menggelegar. Mama Lio yang sempat terlonjak makin mempercepat langkahnya. Seketika setelah bunyi yang mengagetkan itu, hujan kembali menerjang bumi secara buas. Lio tergeragap.
"Hampir aja mobil Mama ketiban dahan tadi, Li. Badai tahun ini emang nggak kira-kira ganasnya," celoteh Mama Lio sembari mengelap tubuhnya dengan handuk yang terlempai di sofa.
Seketika Lio menoleh ke belakang. Dugaannya tak melenceng. Listrik rumahnya padam. Bangunan kecil yang biasanya hangat itu berubah mencekam. Apalagi saat Lio di rumah sendirian begini. Ya, sendiri. Sebab pada kenyataannya tidak ada yang masuk ke rumahnya saat hujan badai begini selain mamanya yang baru pulang berbelanja.
"Ini bunga titipanmu. Yakin mau ketemu Guruh badai-badai begini?"
Melihat buket bunga anyelir pink itu sontak Lio menggeleng. "Guruh udah nengok Lio barusan."
Setelah mengatakannya Lio melenggang ke kamar. Menatap hujan dari balik kaca jendela yang utuh. Lio tak segan membukanya, meski kemudian angin dari luar cepat merambah masuk. Bingkai foto Guruh yang tengah berpose di geladak kapal lantas bergerak-gerak karenanya.
"Sekarang kau boleh pergi. Rasa kehilangan ini akan pelan-pelan kulupakan."
(8 Februari 2020)
Anyelir pink melambangkan kenangan. Anda dapat memberikan bunga ini untuk memberikan pesan bahwa kenangan bersama orang yang meninggalkan memang sulit dilupakan, tapi setiap orang mempunyai hak untuk terus menjalani kehidupan yang lebih baik (outerbloom.com)